Muslim girl's :)

Kamis, 10 Desember 2015

MODEL_MODEL KURIKULUM

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Kurikulum
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang pengembangan kurikulum PAI, perlu dikemukakan terlebih dahulu apa itu kurikulum. Kata “Kurikulum”berasal dari kata Yunani yang semula digunakan dalam bidang olah raga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni  jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari star hingga finish. Jarak dari star sampai finish ini kemudian yang disebut dengan currere.[1]
Dalam bahasa Arab, istilah “kurikulum” diartikan dengan Manhaj, yakni jalan yang terang, atau jalan yang terang yang dilalui oleh manusia pada bidang kehidupannya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai. Al-Khauly (1981) menjelaskan bahwa al-Manhaj sebagai seperangkat rencana dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.
Sementara itu menurut E. Mulyasa[2] bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai hasil kompetensi dasar dan tujuan pendidikan.
Berdasarkan study yang telah dilakukan oleh banyak ahli, dapat disimpulkan bahwa pengertian kurikulum dapat ditinjau dari dua sisi yang berbeda, yakni menurut pandangan lama dan pandangan baru.
Pandangan lama, atau sering juga disebut pandangan tradisional, merumuskan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid untuk memperolah ijazah.[3]
Pengertian kurikulum secara tradisional di atas mempunyai implikasi sebagai berikut:
1.      Kurikulum terdiri atas sejumlah mata pelajaran. Mata pelajaran sendiri pada hakikatnya adalah pengalaman nenek moyang di masa lampau. Berbagai pengalaman tersebut dipilih, dianalisis, serta disusun secara sistematis dan logis, sehingga muncul mata pelajaran seperti sejarah, ilmu bumi, ilmu hayat, dan sebagainya.
2.      Mata pelajaran adalah sejumlah informasi atau pengetahuan, sehingga penyampaian mata pelajaran pada siswa akan membentuk mereka menjadi manusia yang mempunyai kecerdasan berfikir.
3.      Mata pelajaran menggambarkan kebudayaan masa lampau. Adapun pengajaran berarti penyampaian kebudayaan kepada generasi muda.
4.      Tujuan mempelajari mata pelajaran adalah untuk memperoleh ijazah. Ijazah diposisikan sebagai tujuan, sehingga menguasai mata pelajaran berarti telah mencapai tujuan belajar.
5.      Adanya aspek keharusan bagi setiap siswa untuk mempelajari mata pelajaran yang sama. Akibatnya, faktor minat dan kebutuhan siswa tidak dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum.
6.      Sistem penyampaian yang digunakan oleh guru adalah sistem penuangan (imposisi). Akibatnya, dalam kegiatan belajar gurulah yang lebih banyak bersikap aktif, sedangkan siswa hanya bersifat pasif belaka.[4]
Sebagai perbandingan, ada baiknya kita kutip pula pendapat lain seperti yang dikemukakan oleh Romine (1954). Pandangan ini dapat digolongkan sebagai pendapat yang baru (modern), yang dirumuskan sebagai berikut :
Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not
Implikasi perumusan di atas adalah sebagai berikut :
1.      Tafsiran tentang kurikulum bersifat luas, karena kurikulum bukan hanya terdiri atas mata pelajaran (courses), tetapi meliputi semua kegiatan dan pengalaman yang menjadi tanggung jawab sekolah.
2.      Sesuai dengan pandangan ini, berbagai kegiatan di luar kelas (yang dikenal dengan ekstrakurikuler) sudah tercakup dalam pengertian kurikulum. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan antara intra dan ekstrakurikulum.
3.      Pelaksanaan kurikulum tidak hanya dibatasi pada keempat dinding kelas saja, melainkan dilaksanakan baik di dalam maupun di luar kelas, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
4.      Sistem penyampaian yang dipergunakan oleh guru disesuaikan dengan kegiatan atau pengalaman yang akan disampaikan. Oleh karena itu, guru harus mengadakan berbagai kegiatan belajar mengajar yang bervariasi, sesuai dengan kondisi siswa.
5.      Tujuan pendidikan bukanlah untuk menyampaikan mata pelajaran (courses) atau bidang pengetahuan yang tersusun (subject), melainkan pembentukan pribadi anak dan belajar cara hidup di dalam masyarakat.[5]
Dari dua sudut pandangan kurikulum di atas bahwa pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dalam arti sejumlah mata pelajaran atau kuliah di sekolah atau perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat, juga keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan. Demikian pula definisi yang tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 2/1989.
Definisi kurikulum yang tertuang dalam UU Sisdiknas Nomor 20/2003 dikembangkan kearah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan demikian, ada tiga komponen yang termuat dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi dan bahan pelajaran, serta cara pembelajaran, baik yang berupa strategi pembelajaran maupun evaluasinya.[6]
Menurut Dedy Pradibto,[7] kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan.
Menurut yang berpandangan tradisional, kurikulum ialah sejumlah pelajaran yang harus ditempuh siswa di suatu sekolah. Sedangkan menurut yang berpandangan modern, kurikulum lebih dari sekedar rencana pembelajaran, kurikulum dianggap sebagai sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Berikut beberapa definisi kurikulum menurut para ahli:
1.      Macdonald, kurikulum adalah pernyataan mengenai tujuan.
2.      Nunan, kurikulum adalah semua kegiatan yang dalam kegiatan-kegiatan tersebut para siswa terlibat secara aktif dalam aturan sekolah yang meliputi apa yang dipelajari siswa, bagaimana mereka belajarnya, bagaimana guru membantu mereka dalam belajar, materi apa yang digunakan, dengan menggunakan gaya dan metode penilaian yang bagaimana serta fasilitas apa yang digunakan untuk mendukung berjalannya semua kegiatan tersebut.
3.       Tanner&Tanner, kurikulum adalah suatu rencana tertulis.
4.       Richards, kurikulum adalah kegiatan yang esensial karena kegiatan tersebut mencoba menelaah bagaimana meningkatkan kualitas pengajaran melalui penggunaan perencanaan, pengembangan, penelaahan dan pelaksanaan dalam semua aspek program secara sistematis.
5.      Saylor&Alexander, kurikulum adalah pengalaman nyata yang dialami peserta didik dengan bimbingan sekolah.
6.      Olivia, kurikulum adalah perangkat pendidikan yang merupakan jawaban atas kebutuhan dan tantangan.

B.     Latar Belakang Munculnya berbagai Macam Konsep Kurikulum
Kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik, serta seperangkat peraturan yang berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.
1.      Standar Nasional pendidikan adalah pernyataan mengenai kualitas hasil dan komponen-komponen sistem yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan di seluruh wilayah hukum R.I. pada jenjang, jenis atau jalur pendidikan tertentu. Standar nasional pendidikan mencakup standar isi, standar pembelajaran, standar pengembangan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, dan standar evaluasi pendidikan yang wajib dicapai oleh masing-masing satuan pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
2.      Pengajaran adalah proses interaksi peserta didik dan sumber belajar di suatu lingkungan belajar tertentu dalam upaya pendidikan tertentu.
3.      Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melalui pengalaman belajar yang tersedia pada jalur, jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
4.      Satuan pendidikan adalah lembaga penyelenggaraan pendidikan, seperti kelompok bermain, tempat penitipan anak, taman kanak-kanak, sekolah, perguruan tinggi, kursus dan kelompok belajar.[8]
5.      Kurikulum sebagai program studi. Pengertiannya adalah seperangkat mata pelajaran yang mampu dipelajari oleh anak didik di sekolah atau di Instansi pendidikan lainnya.
6.      Kurikulum sebagai konten. Pengertiannya adalah data atau informasi yang tertera dalam buku-buku kelas tanpa dilengkapi dengan data atau informasi lainnya yang memungkinkan timbulnya belajar.
7.      Kurikulum sebagai kegiatan berencana. Kegiatan yang direncanakan tentang hal-hal yang akan diajarkan dan dengan cara bagaimana hal itu dapat diajarkan dengan berhasil.
8.      Kurikulum sebagai hasil belajar. Seperangkat tujuan yang utuh untuk memperoleh suatu hasil tertentu tanpa menspesifikasikan cara-cara yang dituju untuk memperoleh hasil-hasil itu, atau seperangkat hasil belajar yang direncanakan dan diinginkan.
9.      Kurikulum sebagai reproduksi kultural. Transper dan refleksi butir-butir kebudayaan masyarakat, agar dimiliki dan difahami anak-anak generasi muda masyarakat tersebut.
10.  Kurikulum sebagai pengalaman belajar. Keseluruhan pengalaman belajar yang direncanakan di bawah pimpinan sekolah.
11.  Kurikulum sebagai produksi. Seperangkat tugas yang harus dilakukan untuk mencapai hasil yang ditetapkan terlebih dahulu.[9]
Dalam sistem pendidikan kurikulum sebagai salah satu komponen, namun kurikulum itu sendiri juga mempunyai beberapa komponen. Hasan Langgulung memandang bahwa kurikulum mempunyai empat komponen utama, yaitu :
1.      Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan itu. Dengan lebih tegas lagi orang yang bagaimana yang ingin kita bentuk dengan kurikulum tersebut.
2.      Pengetahuan (knowledge), informasi-informasi, data-data, aktifitas-aktifitas, dan pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu. Bagian inilah yang disebut dengan mata pelajaran.
3.      Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh guru-guru untuk mengajar dan memotivasi murid untuk membawa mereka kea rah yang dikehendaki oleh kurikulum.
4.      Metode dan cara penilaian yang dipergunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan yang direncanakan kurikulum tersebut.[10]
Model konsep kurikulum muncul sebagai implikasi dari adanya berbagai aliran dalam pendidikan, karena kurikulum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum dan teori kurikulum dijabarkan berdasarkan teori pendidikan. Nana Syaodih mengemukakan empat teori pendidikan,[11] yaitu:
1.      Pendidikan Klasik
Aliran pendidikan klasik-tradisional yang melahirkan konsep kurikulum rasionalisasi atau subjek akademis. Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti perenialisme, essensialisme, dan eksistensialisme dan memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis.
Faktanya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses penelitian, melalui metode ekspositori dan inkuiri.
2.      Pendidikan Pribadi
Aliran pendidikan pribadi melahirkan konsep kurikulum aktualisasi diri atau humanistik. Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidik hanya menempati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya adalah Francis Parker dan John Dewey, memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan menggunakannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing.
Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J. Rouseau tentang tabula rasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah, memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan ketulusan. Teori pendidikan pribadi menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum humanis. yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis).
3.      Pendidikan Interaksional
Aliran pendidikan interaksionis melahirkan konsep kurikulum rekontruksi sosial. Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lainnya. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi.
Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari guru kepada peserta didik dan dari peserta didik kepada guru. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.
Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya.
4.      Pendidikan Teknologi
Aliran pendidikan teknologis melahirkoan konsep kurikulum teknologi. Teknologi pendidikan yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam tekonologi pendidikan, lebih diutamakan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus.
Isi pendidikan berupa data-data obyektif dan keterampilan-keterampilan yang yang mengarah kepada kemampuan vocational . Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika dan para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat.
Guru berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan. Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum teknologis, yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik, melalui metode pembelajaran individual, media buku atau pun elektronik, sehingga mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.

C.    Model Konsep Kurikulum
Menurut Zaenal Arifin,[12] model konsep kurikulum tidak terlepas dari apa yang dikemukakan Hilda Tiba dalam bukunya Curriculum Devolepment Theory and Practice, bahwa terdapat tiga fungsi kurikulum, yaitu:
1.      Sebagai transmisi, yaitu mewarisi nilai-nilai budaya, dapat direalisasikan melalui konsep kurikulum subjek akademik.
2.      Sebagai transformasi, yaitu melakukan perubahan dan rekontruksi sosial, dapat diwujudkan melalui konsep kurikulum rekontruksi sosial.
3.      Sebagai pengembangan individu, dapat direfleksikan melalui konsep kurikulum humanistik (aktualisasi diri).
Menurut Moh Ali,[13] kurikulum sebagai suatu rencana yang menjadi panduan dalam menjalankan roda proses pendidikan di sekolah akan mempunyai bentuk yang berbeda-beda sebagai akibat dipegangnya konsep tentang fungsi pendidikan itu. Oleh sebab konsep tentang fungsi pendidikan itu bermacam-macam, maka konsep kurikulum pun bermacam-macam pula. McNeil (1981), mengkategorikan konsep kurikulum ini ke dalam empat macam, yaitu:
1.      Konsep Kurikulum Subjek Akademik
Kurikulum ini merupakan model konsep kurikulum yang paling tua, sejak sekolah yang pertama dulu berdiri. Kurikulum ini menekankan pada isi atau materi pelajaran yang bersumber dari disiplin ilmu. Penyusunannya relatif mudah, praktis, dan mudah digabungkan dengan model konsep yang lain. Kurikulum ini bersumber dari pendidikan klasik, perenialisme (kurikulum berfokus pada pengembangan diri) danesensialisme (kurikulum berfokus pada keterampilan penting), yang berorientasi pada masa lalu. Semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai telah ditentukan oleh pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan adalah memelihara dan mewariskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai budaya masa lalu kepada generasi yang baru.
Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan, belajar adalah berusaha menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagaian besar pendidikan yang diberikan oleh guru. (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997:81) Jadi seorang guru harus berhati-hati dalam bertindak dan harus menjadi teladan bagi murid-muridnya, karena ucapan dan tindakan guru akan dicontoh oleh murid-muridnya sebagaimana dalam pepatah jawa bahwa guru adalah digugu dan ditiru.
Menurut Moh Ali, (1992:14) konsep kurikulum akademis melahirkan bentuk-bentuk kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran. Bahan-bahan mata pelajaran yang menjadi kurikulum diseleksi dari disiplin-disiplin ilmu terkait yang dipandang dapat mengembangkan proses kognitif. Bentuk lain dari kurikulum yang lahir berdasarkan konsep kurikulum akademis adalah kurikulum inti atau core curriculum. Kurikulum ini berisi mata pelajaran dan bahan pelajaran yang bersifat fundamental, dan dianggap paling penting untuk dikuasai setiap siswa.
Menurut Arifin (2001:129), ditinjau dari kerangka dasar kurikulum, konsep kurikulum subjek akademik memiliki karateristik tertentu, antara lain:
a.       Tujuan, yaitu mengembangkan kemampuan intelektual anak melalui penguasaan disiplin ilmu. Dengan pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu, para siswa diharapkan memiliki konsep-konsep dan cara-cara yang dapat terus dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas. Sekolah harus memberikan banyak kesempatan kepada para siswa untuk merealisasikan kemampuan mereka untuk menguasai warisan budaya.
b.      Isi atau materi, yaitu mengambil dari berbagai disiplin ilmu yang telah disusun oleh para ahli lalu diorganisasikan sesuai kebutuhan pendidikan. Pola organisasi materi yang digunakan dalam kurikulum subjek akademik adalah:
a.       Correlatet curriculum adalah konsep yang dipelajari dalam satu pelajaran dikorelasikan dengan pelajaran lainnya.
b.      Unifiet atau Concentrated curriculumadalah bahan pelajaran yang tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu, yang mencakup materi dari berbagai mata pelajaran atau disiplin ilmu.
c.       Integrated curriculum adalah bahan ajar yang diintegrasikan dalam suatu persoalan, kegiatan atau segi kehidupan tertentu.
d.      Problem solving curriculum adalah topik pemecahan masalah sosial dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari berbagai mata pelajaran atau disiplin ilmu.
c.       Metode, metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum subjek akademik adalah metode eksposotori dan inkuiri.
d.      Evaluasi, yaitu menggunakan jenis dan bentuk evaluasi yang bervariasi.
Konsep kurikulum ini mendapat kritikan tajam dari berbagai aliran pendidikan yang lain. Kritikan tersebut sekaligus menunjukkan kelemahan konsep kurikulum ini, yaitu:
a.       Terlalu menonjolkan domain kognitif-akademis sehingga domain afektif, psikomotor, sosial, emosional menjadi terabaikan;
b.      Konsep yang dikembangkan para ahli belum tentu sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik;
c.       Tidak semua siswa dapat memahami dan menggunakan metode ilmiah;
d.       Tidak semua anak-anak menjadi ilmuwan profesional;
e.       Guru tidak atau jarang terlibat dalam penelitian.
2.      Konsep Kurikulum Humanistik
Konsep kurikulum ini dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi yaitu John Mewey dan J.J. Rousseau, yang lebih menekankan pada pengembangan kepribadian peserta didik secara utuh dan seimbang antara perkembangan segi intelektual, afektif, dan psikomotor. Kurikulum ini menekankan pengembangan dan kemampuan dengan memperhatikan minat dan kebutuhan peseta didik dan pembelajarannya berpusat pada peserta didik. Pembelajaran segi-segi sosial, moral, dan afektif mendapat perhatian utama dalam model kurikulum ini. 
Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanistik juga berpegang pada konsep Psikologi Gestalt, bahwa individu atau anak merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan pada membina manusia yang utuh bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, nilai dll). Dalam hal ini ada beberapa aliran dalam pendidikan humanistik yaitu pendidikan konfluen,kritikisme,radikal dan mistikisme modern.[14]
Menurut Zaenal Arifin[15] kurikulum humanistik bersifat child-cebtred (berpusat pada anak didik) yang menekankan ekspresi diri secara kreatif individualis, dan aktivitas pertumbuhan dari dalam, bebas paksaan dari luar. Menurut Mc.Neil ciri-ciri kurikulum humanistik adalah:
a.       Partisipasi, artinya peserta didik terlibat secara aktif merundingkan apa yang akan dipelajari.
b.      Integrasi, artinya ada interpenetrasi dan integrasi antara pikiran, perasaan dan tindakan (kognitif, efektif, dan psikomotor).
c.       Relevansi, artinya terdapat kesesuaian antara materi pelajaran dan kebutuhan pokok serta kehidupan anak ditinjau dari segi emosi dan intelektual.
d.      Diri anak, merupakan sasaran utama yang harus dipelajari agar anak dapat mengenal dirinya.
e.       Tujuan, yaitu mengembangkan diri anak sebagai suatu keseluruhan (Pribadi yang utuh) dalam masyarakat.
Sedangkan ditinjau dari kerangka dasar kurikum, konsep kurikulum humanistik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Tujuan pendidikan, yaitu mengembangkan pribadi yang utuh dan dinamis.
b.      Materi, yaitu menyediakan pengalaman yang berharga bagi setiap anak yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan pribadinya secara utuh, membantu anak menemukan dan mengaktualisasikan diri, yang berkenaan dengan intelektual, emosional maupun performance.
c.       Proses, yaitu terbangunnya emosional yang kondusif antara guru dan siswa.
d.      Evaluasi, yaitu lebih mengutamakan proses daripada hasil, karena itu sifatnya subjektif, baik dari guru maupun siswa.
3.      Konsep Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Konsep kurikulum ini lebih memusatkan perhatiannya pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat, kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Menurut mereka pendidikan bukanlah merupakan upaya sendiri, tetapi merupakan kegiatan bersama, interaksi, dan kerjasama. Melalui interaksi dan kerjasama ini peserta didik berusaha memecahkan problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Sekolah bukan hanya dapat membantu bagaimana berpartisipasi sebaik-baiknya dalam kegiatan sosial.
Menurut Nana Syaodih Sukmadinata,[16] kurikulum rekonstruksi sosial memiliki desain kurikulum yang berbeda dengan model kurikulum lain, beberapa ciri dari kurikulum ini adalah:
a.       Asumsi, tujuan utama dari kurikulum ini adalah menghadapkan para peserta didik pada tantangan-tantangan, ancaman-ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia.
b.      Kegiatan belajar dipusatkan pada masalah-masalah sosial mendesak.
c.       Pola-pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda, di tengah-tengahnya sebagai poros dipilih suatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno.
Kurikulum Rekonstruksi Sosial memiliki komponen-komponen yang sama dengan model kurikulum yang lain, tetapi isi dibentuk berbeda, diantaranya sebagai berikut:
a.       Tujuan dan isi, setiap tahun program pendidikan mempunyai tujuan yang berbeda disesuaikan dengan masalah sosial yang ada di suatu tempat.
b.      Metode, dalam pembelajaran rekonstruksi sosial pengembang berusaha mencari keselarasan antara tujuan nasional dengan tujuan peserta didik.
c.       Evaluasi, para peserta didik juga dilibatkan, keterlibatan para peserta didik terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan.
4.      Konsep kurikulum Teknologis (kompetensi)
Kompetensi dapat didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Perkembangan teknologi mempengaruhi setiap bidang dan aspek kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Sejak dahulu teknologi telah diterapkan dalam pendidikan, tetapi yang digunakan adalah teknologi sederhana seperti penggunaan papan tulis dan kapur, pena dan tinta, sabak dan grib, dan lain-lain. Dewasa ini sesuai dengan tahap perkembangannya yang digunakan adalah teknologi maju, seperti audio dan video cassette, overhead projektor, film slide dan motion film, mesin pembelajaran, computer, CD-Room, andinternet.
Ada beberapa ciri dari kurikulum kompetensi yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan, yaitu:
a.       Tujuan diarahkan pada penguasaan kemampuan akademik, kemampuan vokasional, kemampuan pribadi yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi.
b.      Metode yang merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi respons yang diharapkan, respons tersebut diperkuat.
c.       Bahan ajar atau kompetensi yang luas atau besar dirinci bagian-bagian atau sub kompetensi yang lebih kecil, yang menggambarkan obyektif.
d.      Evaluasi dilaksanakan pada setiap saat, pada akhir suatu pelajaran, suatu unit, ataupun semester. Fungsi dari evaluasi ini adalah sebagai umpan balik bagi peserta didik dalam penyempurnaan penguasaan suatu satuan pelajaran, sebagai umpan balik bagi peserta didik pada akhir suatu program atau semester, juga dapat menjadi umpan balik bagi guru dan pengembangan kurikulum untuk penyempurnaan kurikulum.

D.    Dasar Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum sebagai salah satu komponen pendidikan yang sangat berperan dalam mengantarkan pada tujuan pendidikan yang diharapkan, harus mempunyai dasar-dasar yang merupakan kekuatan utama yang mempengaruhi dan membentuk materi kurikulum, susunan dan organisasi kurikulum.
Herman H. Horne memberikan dasar bagi penyusunan kurikulum dengan tiga macam, yaitu :
1.      Dasar Psikologis, yang digunakan untuk memenuhi dan mengetahui kemampuan yang diperoleh dari pelajar dan kebutuhan anak didik (the ability and needs of children).
2.      Dasar Sosiologis, yang digunakan untuk mengetahui tuntunan yang sah dari masyarakat (the legitimate demands of society)
3.      Dasar Filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup (the kind of universe in which we live).[17]
Sementara itu Al-Syaibani menawarkan dasar-dasar kurikulum sebagai berikut :
1.      Dasar Agama, tujuan dan kurikulumnya pada dasar agama Islam dengan segala aspeknya. Dasar agama ini dalam kurikulum pendidikan Islam jelas harus berdasarkan pada al-Qur’an, al-Shunnah dan sumber-sumber yang bersifat furu’ lainnya.
2.      Dasar Falsafah, dasar ini memberikan pedoman bagi tujuan pendidikan Islam secara filosofis, sehingga tujuan, isi dan organisasi kurikulum mengandung suatu kebenaran dan pandangan hidup dalam bentuk nilai-nilai yang diyakini sebagai suatu kebenaran, baik ditinjau dari sisi ontology, epistimologi, maupun aksiologi.
3.      Dasar Psikologi, dasar ini memberikan landasan dan perumusan bahwa dalam perumusan kurikulum yang sejalan dengan ciri-ciri perkembangan psikis peserta didik, sesuai dengan tahap kematangan dan bakatnya.
4.      Dasar Sosial, dasar ini memberikan gambaran bagi kurikulum pendidikan Islam yang tercermin pada dasar sosial yang mengandung ciri-ciri masyarakat Islam dan kebudayaannya. Baik dari segi pengetahuan, nilai-nilai ideal, cara berfikir dan adat kebiasaan, seni dan sebagainya. Kaitannya dengan kurikulum pendidikan Islam sudah tentu kurikulum ini harus mengakar terhadap masyarakat dan perubahan dan perkembangannya.[18]

E.     Pengembangan Kurikulum PAI
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam (PAI) dapat diartikan sebagai:
1.      Kegiatan menghasilkan kurikulum PAI atau
2.      Proses yang mengaitkan satu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih baik; dan atau
3.      Kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum PAI.
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum PAI tersebut ternyata mengalami perubahan-perubahan paradigma[19] walaupun dalam beberapa hal tertentu paradigm sebelumnya masih tetap dipertahankan hingga sekarang. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut :
1.      Perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingatan tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama Islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan, makna dan motivasi beragama Islam untuk mencapai tujuan pembelajaran PAI;
2.      Perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam;
3.      Perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pemikiran keagamaan Islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut;
4.      Perubahan dari pola pengembangan kurikulum PAI yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum PAI ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasi tujuan PAI dan cara-cara mencapainya.[20]

F.     Fungsi Kurikulum PAI
1.      Bagi sekolah/madrasah yang bersangkutan:
a.       Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam yang diinginkan atau dalam istilah KBK disebut standar kompetensi PAI, meliputi fungsi dan tujuan pendidikan nasional, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi tamatan/lulusan, kompetensi bahan kajian PAI, kompetensi mata pelajaran PAI (TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA), kompetensi mata pelajaran kelas (I, II, III, IV, V, VI, VIII, IX, X, XI, XII).
b.      Pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah.
2.      Bagi sekolah/madrasah di atasnya :
a.       Melakukan penyesuaian.
b.      Menghindari keterulangan sehingga boros waktu
c.       Menjaga kesinambungan
3.      Bagi masyarakat :
a.       Masyarakat sebagai pengguna lulusan (users), sehingga sekolah/madrasah harus mengetahui hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam konteks pengembangan PAI.
b.      Adanya kerjasama yang harmonis dalam hal pembenahan dan pengembangan kurikulum PAI.[21]

G.    Proses Pengembangan Kurikulum
Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi, yaitu : administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli bidang ilmu pengetahuan, guru-guru, dan orang tua murid, serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terus menerus turut terlibat dalam pengembangan kurikulum adalah : administrator, guru, dan orang tua.[22]
Dalam mengembangkan kurikulum, kurikulum yang dimaksud di sini adalah kurikulum PAI dimulai dari kegiatan perencanaan kurikulum. Dalam menyusun perencanaan ini didahului oleh ide-ide yang akan dituangkan dan dikembangkan dalam program. Ide kurikulum bisa berasal dari :
1.      Visi yang direncanakan. Visi (vision) adalah the statement of ideas or hopes, yakni pernyataan tentang cita-cita atau harapan-harapan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga pendidikan dalam jangka panjang.
2.      Kebutuhan stakeholders (siswa, masyarakat, pengguna lulusan), dan kebutuhan untuk studi lanjut.
3.      Hasil evaluasi kurikulum sebelumnya dan tuntutan perkembangan ipteks dan zaman.
4.      Pandangan-pandangan para pakar dengan berbagai latar belakangnya.
5.      Kecenderungan era globalisasi yang menuntut seseorang untuk memiliki etos belajar sepanjang hayat, melek sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi.[23]

H.    Tujuan Pengembangan Kurikulum
Istilah yang digunakan untuk menyatakan tujuan pengembangan kurikulum adalah goalsdan objectives. makna tujuan, khususnya tujuan pendidikan nasional adalah berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreaktif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[24]
Secara lebih jauh, tujuan berfungsi sebagai pedoman bagi pengembangan tujuan-tujuan spesifik (objectives), kegiatan belajar, implementasi kurikulum, dan evaluasi untuk mendapatkan balikan (feedback).
Mengingat pentingnya tujuan, tidak heran jika perumusan tujuan menjadi langkah pertama dalam pengembangan kurikulum. Filosofi yang dianut pendidikan atau sekolah biasanya menjadi dasar pengembangan tujuan. Oleh karena itu, tujuan hendaknya merefleksikan kebijakan, kondisi masa kini dan masa datang, prioritas, sumber-sumber yang sudah tersedia, serta kesadaran terhadap unsur-unsur pokok dalam pengembangan kurikulum.[25]

I.       Kurikulum dan Tujuan Pendidikan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dalam pencapaian akhir pendidikan dapat dilakukan sekaligus, akan tetapi secara bertahap, dan setiap tahap atau menuju sasaran yang sama. Tahap-tahap yang dikembangkan dalam pendidikan umum adalah berakhir pada tujuan Nasional sebagai tujuan umum yang secara terbatas ditentukan pula oleh falsafah Negara itu masing-masing. Bahkan pada zaman modern ini kita dapati pendidikan merupakan pantulan dari falsafah suatu bangsa dan ialah yang merupakan juru bicara dari semangat bangsa tersebut. Oleh karena itu sesuai dengan kepentingan setiap Negara, berdasarkan falsafah bangsa itu, maka ke situ pulalah pendidikan itu diarahkan. Selanjutnya untuk mencapai pendidikan (sekolah) menyusun kurikulum tertentu sebagai pedoman dalam proses pembelajaran.[26]

J.      Kerangka Dasar Kurikulum Pendidikan Islam
Pendidikan Islam yang berfalsafah al-Qur’an sebagai sumber utamanya, menjadikan al-Qur’an sebagai sumber utama penyusunan kurikulumnya.
Muhammad Fadhil al-Jamili mengemukakan bahwa al-Qur’an al-Karim adalah kitab terbesar yang menjadi sumber filsafat pendidikan dan pengajaran bagi umat Islam. Sudah seharusnya kurikulum pendidikan Islam disusun sesuai dengan al-Qur’an dan ditambah dengan al-Hadits yang melengkapinya.
Di dalam al-Qur’an dan Hadits ditemukan kerangka dasar dan dapat dijadikan sebagai pedoman dan penyusunan kurikulum pendidikan Islam. Kerangka dasar tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Sesuai dengan al-Qur’an bahwa yang menjadi kurikulum ini (intra curiculer) pendidikan Islam adalah “Tauhid” dan harus dimantapkan sebagai unsur pokok yang tidak dapat dirubah. Pemantapan kalimat tauhid sudah dimulai semenjak bayi dilahirkan dengan memperdengarkan adzan dan iqomah terhadap bayi yang dilahirkan.
2.      Kurikulum inti (Intra Curiculer) selanjutnya adalah perintah ‘Membaca’ ayat-ayat Allah yang meliputi 3 macam ayat yaitu : (1) ayat Allah yang berdasarkan wahyu. (2) ayat Allah yang ada pada diri manusia, dan (3) ayat Allah yang terdapat di dalam alam semesta di luar diri manusia.
Firman Allah SWT:
Artinya : “Bacalah! Dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah yang maha Pemurah yang mengajarkan (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S. al-Alaq : 1-5).
Ditinjau dari segi kurikulum sebenarnya firman Allah SWT itu merupakan bahan pokok pendidikan yang mencakup seluruh Ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia.[27] Membaca selain melibatkan proses mental yang tinggi, pengenalan (cognition), ingatan (memory), pengamatan (perception), pengucapan (verbalization), pemikiran (reasoning), daya cipta (creativity),[28] juga sekaligus merupakan bahan pendidikan itu sendiri. Mungkin taka ada satu kurikulum pendidikan di dunia ini yang tidak mencantumkan membaca sebagai materinya, bahkan umumnya membaca ini ditempatkan dari sekolah dasar, perguruan tinggi dengan berbagai variasi.
Kelima ayat tersebut pada dasarnya telah mencakup kerangka kurikulum pendidikan Islam yang wajib dijabarkan sebagai berikut :
1.      Bacalah! Dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Tekanan yang terkandung dalam ayat ini adalah kemampuan membaca yang dihubungkan dengan nama Tuhan sebagai Pencipta. Hal ini erat hubungannya dengan ilmu naqli (perennial knowledge).
2.      Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Ayat tersebut mendorong manusia untuk mengintropeksi menyelidiki tentang dirinya dimulai dari proses kejadian dirinya. Manusia ditantang dan dirangsang untuk mengungkapkan hal itu mulai imaginasi maupun pengalamannya (acquired knowledge).
3.      Bacalah! Dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajarkan manusia dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Motifasi yang terkandung dalam ayat ini adalah agar manusia terdorong untuk mengadakan eksplorasi alam dan sekitarnya dengan kemampuan membaca dan menulisnya.[29]


































[1] M. Ahmad, Dkk, Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT. Pustaka Setia,1998), hal, 9
[2] E. Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 46.
[3] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 3
[4] Ibid, hal. 4.
[5] Ibid, hal. 5.
[6] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Op-Cit, hal. 2
[7] Dedy Pradibto,. Belajar Sejati Versus Kurikulum Nasional. Yogyakarta: Kanisius, 2007,  hal. 210
[8] Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 91.

[9] Muhain dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung : PT. Trigenda Karya, 1993), hal. 185
[10] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Pustaka al-Husna, 1988), hal. 303.
[11] Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum Teori Dan PraktikBandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1997, hal. 21-22

[12] Arifin, Zainal. Pendekatan Dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2001, hal. 127
[13] Ali, Mohammad. Pengembangan Kurikulum Di Sekolah. Bandung: CV Sinar Baru Offset, 1992, hal. 10
[14] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan PraktikBandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1997, hal. 86
[15] Zainal Arifin,. Pendekatan Dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2001, hal. 133

[16] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan PraktikBandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1997, hal. 92
[17] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Op-Cit, hal. 131
[18] Ibid, hal. 132.
[19] Contoh, tasrif, teladan, pedoman; dipakai untuk menunjukan gugusan sistem pemikiran; bentuk kasus dan pola pemecahannya. Pius A Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : PT. Arkola, 1994), hal. 566.
[20] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Op-Cit, hal. 10-11.
[21] Ibid, hal. 11-12.
[22] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum,; Teori dan Praktek, Op-Cit, hal. 155.

[23] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Op-Cit, hal. 12-13.
[24] Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, (Bandung : PT. Fokus Media, 2005), hal. 98.
[25] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Op-Cit, hal. 187.
[26] Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Diadit Media, 2010), hal. 73.
[27] Ibid, hal. 79.
[28] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Pustaka al-Husna), hal. 166

[29] Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam, Op-Cit, hal. 80-81.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar